NBnews - Salah satu situs jejaring sosial online paling terkenal di Indonesia, Facebook kini mulai beralih fungsi. Dari sekedar situs pertemanan dan bisnis menjadi ajang prostitusi anak baru gede (ABG). Wow! Sudah tak terhitung berapa banyak kasus jaringan prostitusi remaja maupun anak di bawah umur menggunakan facebook yang berhasil diungkap kepolisian. Kenapa menggunakan facebook? Karena caranya sangat mudah dilakukan dan efektif. Para pelaku cukup memasang foto-foto ABG di dinding facebook dan tinggal memperbaharui status jika ada promosi yang ingin disampaikan. Pelanggan pun merasa aman karena tidak perlu berteman, cukup berlangganan maka informasi terbaru pun di dapatkan. Tapi, ini bukan salah Facebook, melainkan para anggotanya yang menyalah gunakan fasilitas facebook.
Para ABG secara sadar menjerumuskan dirinya kepada prostitusi terselubung tanpa menyadari bahayanya, apalagi mayoritas mereka masih di bawah umur. Mereka hanya berpikir pendek, punya wajah cantik dan tubuh seksi yang dapat ditukar uang ratusan ribu rupiah. Mereka tidak berpikir dampak buruknya terhadap mereka, terutama infeksi menular seksual (IMS) dan terjangkit HIV/ AIDS. Menurut saya, ada beberapa aspek yang melandasi mereka sedemikian nekatnya menukar anugerah Tuhan yang berharga dengan materi yang sifatnya hanya sementara.
Pertama, pola pikir materialisme masyarakat Indonesia, dimana orang dihargai berdasarkan berapa banyak uang dan barang yang dimiliki. Ini diperparah dengan bombardir media massa yang memberi suguhan sinetron melankolis menularkan gaya hidup hedon dan majalah-majalah yang menawarkan mimpi-mimpi kosong lewat berbagai lomba, kontes dan festival. Sehingga, sadar atau tidak dalam diri mereka mulai tertanam bahwa kebahagiaan hanya bisa diraih oleh uang, uang dan uang. Dengan uang bisa mendapatkan apa saja dan diperhatikan siapa saja.
Kedua, ABG masih labil! Tak jarang kita dengar istilah Ababil, akronim dari ABG agak labil. Tapi memang demikian kenyataannya, perkembangan fisik, emosi dan sosialnya masih belum sempurna. Remaja-remaja tanggung ini masih dalam masa transisi, jati dirinya belum terbentuk dengan sempurna. Mereka merasa identitas dirinya sempurna bila teman-temannya sudah menghargai keberadaannya. Nah, hal itu baru muncul biasanya kalau mereka sudah memiliki ponsel canggih keluaran terbaru, pakaian bermerk dan aksesoris gaul yang mewah dan lengkap. Akhirnya mereka berpikir bagaimana cara mendapatkannya dengan instan tanpa harus bersusah payah.
Ketiga, mereka terbawa arus pertemanan. Dalam arti, mereka lebih mendengarkan dan meyakini apa yang dikatakan teman-teman sebayanya. Bahkan, kalau hal itu hal buruk sekalipun. Sehingga, bila salah berteman maka para remaja ini dapat terjerumus ke praktek pelacuran ini tanpa bisa keluar lagi. Karena, mereka takkan mau mendengarkan nasehat orang tua dan keluarganya karena mereka tak mampu menolak pengaruh kelompok bermainnya.
Keempat, yakni yang terakhir kegagalan menanamkan etika dan akhlak. Etika sejatinya perwujudan kearifan bangsa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari, sedangkan Akhlak adalah perwujudan nilai-nilai luhur agama. Keluarga lah yang bertugas menanamkan keduanya sebagai pondasi awal sebelum seorang anak beranjak remaja dan mulai keluar dari rumah. Kegagalan membangun pondasi menyebabkan ABG menganut nilai permisif dan liberal. Nilai-nilai baru dari kawan-kawannya yang lebih mudah dicerna langsung dijadikan cara pandang baru tanpa pertimbangan masak.
Akhirnya, para ABG baik pria maupun wanita banyak yang terjerumus dalam praktek prostitusi yang berujung pada penyebaran IMS dan HIV/ AIDS. Dalam otak mereka lagi-lagi hanya uang, uang dan uang. Tidak pernah mereka berpikir bahwa mereka bisa tertular kencing nanah, raja singa, herpes dan klamidia dari para pelanggannya. Kenyataan terburuk yang mereka terima adalah jika ada pelanggan yang positif HIV/ AIDS dan memintanya melakukan hubungan seksual tanpa kondom. Maka tertularlah ia semata karena ketidak tahuannya. Dan dari keawamannya itu dia pun kembali menularkannya kepada orang lain. Inilah awal dari besarnya jumlah remaja ODHA, dimana sekitar 70% ODHA adalah remaja.
Demi kekayaan dan kenikmatan sesaat mau menukarkan kesehatannya. Sungguh, bukan pilihan yang tepat! Bermula dari facebook terjerumus gaya hidup bebas dan tertular HIV/ AIDS. Memang cita-cita mereka tercapai, tapi batin mereka tersiksa seumur hidup. Di sinilah pentingnya kita sebagai sesama anak bangsa menunjukkan kepedulian kita. Bukan melulu sibuk bagaimana sikap kita terhadap ODHA, tapi justru memberikan pendidikan seks yang benar sehingga remaja menjadi lebih paham. Sehingga mereka bisa terhindar dari perilaku seks bebas dan dapat terhindar dari HIV/ AIDS.
Tugas mulia untuk memberikan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) ini bukan hanya kewajiban instansi, departemen, lembaga dan organisasi tertentu. Jangan pernah bergantung pada seseorang atau badan yang belum tentu memiliki komitmen kuat dalam hal ini. Anggaplah ini kewajiban kita bersama terhadap para generasi penerus. Tidak sulit, karena kita bisa mulai dari diri kita sendiri dan sekarang juga. Mulailah dari keluarga kita, terutama adik-adik dan anak-anak kita yang baru beranjak remaja. Tanamkan nilai-nilai luhur Pancasila dan agama masing-masing. Niscaya, Indonesia yang bebas penularan HIV/ AIDS di tahun 2015 pun akan tercapai. Bersama Kita Bisa!
Para ABG secara sadar menjerumuskan dirinya kepada prostitusi terselubung tanpa menyadari bahayanya, apalagi mayoritas mereka masih di bawah umur. Mereka hanya berpikir pendek, punya wajah cantik dan tubuh seksi yang dapat ditukar uang ratusan ribu rupiah. Mereka tidak berpikir dampak buruknya terhadap mereka, terutama infeksi menular seksual (IMS) dan terjangkit HIV/ AIDS. Menurut saya, ada beberapa aspek yang melandasi mereka sedemikian nekatnya menukar anugerah Tuhan yang berharga dengan materi yang sifatnya hanya sementara.
Pertama, pola pikir materialisme masyarakat Indonesia, dimana orang dihargai berdasarkan berapa banyak uang dan barang yang dimiliki. Ini diperparah dengan bombardir media massa yang memberi suguhan sinetron melankolis menularkan gaya hidup hedon dan majalah-majalah yang menawarkan mimpi-mimpi kosong lewat berbagai lomba, kontes dan festival. Sehingga, sadar atau tidak dalam diri mereka mulai tertanam bahwa kebahagiaan hanya bisa diraih oleh uang, uang dan uang. Dengan uang bisa mendapatkan apa saja dan diperhatikan siapa saja.
Kedua, ABG masih labil! Tak jarang kita dengar istilah Ababil, akronim dari ABG agak labil. Tapi memang demikian kenyataannya, perkembangan fisik, emosi dan sosialnya masih belum sempurna. Remaja-remaja tanggung ini masih dalam masa transisi, jati dirinya belum terbentuk dengan sempurna. Mereka merasa identitas dirinya sempurna bila teman-temannya sudah menghargai keberadaannya. Nah, hal itu baru muncul biasanya kalau mereka sudah memiliki ponsel canggih keluaran terbaru, pakaian bermerk dan aksesoris gaul yang mewah dan lengkap. Akhirnya mereka berpikir bagaimana cara mendapatkannya dengan instan tanpa harus bersusah payah.
Ketiga, mereka terbawa arus pertemanan. Dalam arti, mereka lebih mendengarkan dan meyakini apa yang dikatakan teman-teman sebayanya. Bahkan, kalau hal itu hal buruk sekalipun. Sehingga, bila salah berteman maka para remaja ini dapat terjerumus ke praktek pelacuran ini tanpa bisa keluar lagi. Karena, mereka takkan mau mendengarkan nasehat orang tua dan keluarganya karena mereka tak mampu menolak pengaruh kelompok bermainnya.
Keempat, yakni yang terakhir kegagalan menanamkan etika dan akhlak. Etika sejatinya perwujudan kearifan bangsa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari, sedangkan Akhlak adalah perwujudan nilai-nilai luhur agama. Keluarga lah yang bertugas menanamkan keduanya sebagai pondasi awal sebelum seorang anak beranjak remaja dan mulai keluar dari rumah. Kegagalan membangun pondasi menyebabkan ABG menganut nilai permisif dan liberal. Nilai-nilai baru dari kawan-kawannya yang lebih mudah dicerna langsung dijadikan cara pandang baru tanpa pertimbangan masak.
Akhirnya, para ABG baik pria maupun wanita banyak yang terjerumus dalam praktek prostitusi yang berujung pada penyebaran IMS dan HIV/ AIDS. Dalam otak mereka lagi-lagi hanya uang, uang dan uang. Tidak pernah mereka berpikir bahwa mereka bisa tertular kencing nanah, raja singa, herpes dan klamidia dari para pelanggannya. Kenyataan terburuk yang mereka terima adalah jika ada pelanggan yang positif HIV/ AIDS dan memintanya melakukan hubungan seksual tanpa kondom. Maka tertularlah ia semata karena ketidak tahuannya. Dan dari keawamannya itu dia pun kembali menularkannya kepada orang lain. Inilah awal dari besarnya jumlah remaja ODHA, dimana sekitar 70% ODHA adalah remaja.
Demi kekayaan dan kenikmatan sesaat mau menukarkan kesehatannya. Sungguh, bukan pilihan yang tepat! Bermula dari facebook terjerumus gaya hidup bebas dan tertular HIV/ AIDS. Memang cita-cita mereka tercapai, tapi batin mereka tersiksa seumur hidup. Di sinilah pentingnya kita sebagai sesama anak bangsa menunjukkan kepedulian kita. Bukan melulu sibuk bagaimana sikap kita terhadap ODHA, tapi justru memberikan pendidikan seks yang benar sehingga remaja menjadi lebih paham. Sehingga mereka bisa terhindar dari perilaku seks bebas dan dapat terhindar dari HIV/ AIDS.
Tugas mulia untuk memberikan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) ini bukan hanya kewajiban instansi, departemen, lembaga dan organisasi tertentu. Jangan pernah bergantung pada seseorang atau badan yang belum tentu memiliki komitmen kuat dalam hal ini. Anggaplah ini kewajiban kita bersama terhadap para generasi penerus. Tidak sulit, karena kita bisa mulai dari diri kita sendiri dan sekarang juga. Mulailah dari keluarga kita, terutama adik-adik dan anak-anak kita yang baru beranjak remaja. Tanamkan nilai-nilai luhur Pancasila dan agama masing-masing. Niscaya, Indonesia yang bebas penularan HIV/ AIDS di tahun 2015 pun akan tercapai. Bersama Kita Bisa!