Photobucket

Minggu, 11 Maret 2012

Amnesti Internasional Kembali Paksa Indonesia Hentikan Khitanan Bagi Perempuan - Apakah Murtad?

NBnews - Amnesty International kembali mendesak Pemerintah Indonesia untuk segera menghentikan praktek khitan bagi perempuan dengan mencabut Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1636 tahun 2010 tentang sunat perempuan. Aturan ini dinilai kian melegitimasi praktek sunat terhadap perempuan karena mengatur secara detail tata laksana khitan pada perempuan sekaligus memberi otoritas kepada pekerja medis seperti dokter, bidan dan perawat, untuk melakukannya.

Selain itu aturan tersebut menurut Amnesti Internasional juga bertentangan dengan sejumlah aturan di Indonesia termasuk konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) yang juga telah diratifikasi Indonesia.

Aturan mengenai khitan perempuan yang diterbitkan Menteri Kesehatan ini juga dikritik kalangan di dalam negeri. Kepala Lembaga Kependudukan dan Gender Universitas YARSI Jakarta, Jurnalis Uddin, menyayangkan sikap pemerintah yang membatalkan aturan larangan khitan perempuan yang pernah diterapkan tahun 2006 lalu hanya karena keberatan kalangan ulama.  Peraturan Menteri kesehatan tahun 2010 mengenai tata laksana khitan perempuan menurut Prof Jurnalis Uddin semakin memperbesar resiko  kerugian pada perempuan yang dikhitan.

Desakan pelarangan Khitan perempuan ini sebelumnya juga pernah disampaikan Amnesti Internasional pada juni 2011 lalu. Pemerintah Indonesia lewat Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih mengaku sudah meresponnya. Menurut Menteri Kesehatan, praktek khitan terhadap perempuan sulit dihapuskan di Indonesia, karena sudah merupakan bagian dari kepercayaan agama maupun tradisi atau budaya di tanah air. Sehingga pemerintah terpaksa menerbitkan kembali aturan tentang khitan perempuan untuk mencegah praktek khitan dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak professional sehingga akan lebih membahayakan perempuan.

Praktek khitan bagi perempuan oleh sebagian negara di dunia saat ini memang sudah dilarang. Negara-negara di Afrika tahun 2010 lalu bahkan sampai menggelar konferensi internasional untuk mendorong gerakan penghapusan atau pelarangan khitan pada organ genital perempuan yang dinilai melanggar HAM.
Umumnya praktek khitan bagi perempuan ini dilakukan atas alasan budaya ataupun mengikuti perintah agama. Tetapi pada kelanjutannya, praktek khitan pada perempuan justru menyebabkan infeksi, masalah pada saluran kencing, trauma psikis, komplikasi saat melahirkan dan bahkan pada beberapa kasus menyebabkan pendarahan.

Secara historis, praktik khitan bagi perempuan telah ada sebelum agama Islam lahir. Khitan perempuan menjadi tradisi di banyak masyarakat. Berdasarkan riset Population Council, di Indonesia, khitan perempuan dilakukan di berbagai daerah, seperti Banten, Gorontalo, Makassar, Padang Sidimpuan, Madura, Padang, Padang Pariaman, Serang, Kutai Kartanegara, Sumenep, Bone, Gorontalo, dan Bandung. Alat untuk menyunat adalah pisau (55 persen), gunting (24 persen), sembilu (bambu) atau silet (5 persen), jarum (1 persen), serta sisanya sekitar 15 persen pinset, kuku atau jari penyunat, koin, dan kunyit. Caranya adalah dengan pemotongan klitoris, yaitu insisi (22 persen) dan eksisi (72 persen) menggunakan gunting, serta mengerik dan menggores klitoris (6 persen) menggunakan bambu atau silet

Menurut MUI, khitan bagi perempuan adalah makrumah (memuliakan) dan pelarangan khitan bagi perempuan dianggap bertentangan dengan syiar Islam.

Hak sama
Ayat yang senantiasa dijadikan rujukan hukum atas sunat bagi laki-laki dan perempuan adalah QS An-Nahl:123, yang artinya ”Kemudian Kami wahyukan kepadamu agar mengikuti millah Nabi Ibrahim.” Menurut KH Husein Muhammad dari Pondok Pesantren Darut Tauhid, Cirebon, tidak ada pakar tafsir yang mengaitkan ayat tersebut dengan kewajiban khitan bagi perempuan. Sebaliknya, ayat tersebut tengah membicarakan hal-hal pokok dalam doktrin agama, seperti tentang keyakinan tauhid dan cara manasik haji Nabi Ibrahim. Para pakar tafsir klasik sekalipun, seperti Al-Qurthubi, menjelaskan, ayat tersebut berkenaan dengan perintah kepada Nabi Muhammad untuk ikut manasik haji Nabi Ibrahim.

Al-Thabari mengatakan, ayat itu intinya memerintahkan Nabi Muhammad membebaskan diri dari penyembahan terhadap berhala dan kepasrahan kepada Tuhan. Fakhr al-Din al-Razi mengemukakan, maksud ayat itu adalah Tuhan memerintahkan Nabi Muhammad mengikuti metode Nabi Ibrahim dalam menyampaikan dakwah tentang kemahaesaan Tuhan (tauhid), yakni dengan cara halus, lembut, memudahkan, dan argumen rasional, sebagaimana ditunjukkan Al Quran dalam ayat-ayat lain.

Menurut Yusuf al-Qardhawi, perujukan ayat di atas sebagai dasar perlunya khitan bagi perempuan adalah alasan mengada-ada (takalluf) dan memaksakan. Ayat tersebut bicara lebih luas dan mendasar daripada sekadar khitan.

 


 Apakah Anda Suka? Please Share dan info ke orang terdekat anda

Youk! Baca Artikel Terkait Dibawah Ini:

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites